Tahi Bonar Simatupang
Oleh Halomoan Siburian
Saya terlahir di suatu tempat yang beriklim sangat sejuk di Dataran Tinggi Toba, di sebuah desa yang bernama desa Lumbanbarat, saat itu (ketika saya lahir), desa ini berada di wilayah administrasi Kecamatan pembantu Paranginan, dimana kecamatan induknya adalah Lintong Nihuta, kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Saat ini, Paranginan sudah menjadi satu kecamatan yang defenitif dan berada di bawah administrasi pemerintahan kabupaten Humbang Hasundutan – Propinsi Sumatera Utara. Saya terlahir sebagai seorang anak yang bermarga Siburian, saat itu – dan hingga kini, desa kami dihuni oleh mayoritas bermarga Siburian, ada dua tiga keluarga yang bukan bermarga Siburian tapi masih termasuk “sonduk hela” . Di sebelah desa kami, ada dua desa yang juga adalah desanya klan Siburian, ada desa yang lain yang didominasi oleh marga Sianturi, dan ada desa lain yang menjadi desanya orang-orang bermarga Togatorop. Perlu diketahui bahwa Togatorop, Sianturi dan Siburian adalah sama-sama dalam rumpun marga SIMATUPANG. Memang Kawasan Paranginan adalah Kawasan ulayat marga Simatupang.
Sedari kecil saya sudah sangat
paham tentang tarombo/silsilah Simatupang, bahwa walaupun dari kakek saya sudah
menyandang marga Siburian, selalu diajarkan bahwa Simatupang juga adalah marga
saya, dan kalau saya bertemu dengan seseorang yang bermarga Simatupang, maka
orang tersebut adalah saudara saya juga. Dalam banyak hal, marga bisa menjadi
kebanggaan tersendiri. Ketika masih sekolah, saya pernah mempelajari (dan juga
menonton film G-30 S) saya tahu tentang Jenderal D.I Panjaitan. Saya masih
ingat sekali salah satu adegan “ ..jangan menyerah tulang!..” , sebenarnya
adalah suatu adegan yang sangat berkesan. Selain bernuansa horror dan mencekam,
bahwa ada yang berbahasa BATAK di Jakarta, dan di rumah seorang jenderal (yang
juga adalah orang BATAK) adalah menjadi suatu kebanggaan. Bahwa ada juga orang
BATAK yang menjadi orang hebat di negeri ini. Kebetulan pada saat itu (sejak
usia sekolah), kami sudah pindah, tinggal dan menetap di kota Medan-Sumatera
Utara, Dimana teman-teman sepermainan/pergaulan saya banyak yang bukan orang
BATAK.
Sesungguhnya perkenalan saya
terhadap tokoh TB Simatupang cukup terlambat, pada waktu itu saya tidak
memiliki akses informasi dan referensi yang cukup mengenai tokoh ini. Ibu saya
adalah seorang Guru, ada tulang kandung saya di Medan yang menjadi dosen, ada
tulang saya yang menjadi Hakim, sehingga mungkin ini lah yang menyebabkan saya
sangat tertarik sekali dengan dunia intelektualitas. Dalam imajinasi saya
sebagai seorang anak kecil, cita-cita saya adalah menjadi orang yang pintar.
Tidak seperti banyak teman saya yang sebaya yang bangga bila berpose dengan
seragam tentara, hal itu tidak pernah terpikirkan saya.
Ketika beranjak remaja, ketika
itu masih pemerintahan Presiden Soeharto, saya cukup hafal dengan nama-nama
Menteri, sesuatu yang menjadi kelebihan/kebanggaan dibandingkan dengan
teman-teman, ada satu orang Menteri yang cukup melekat di kepala saya, yaitu :
TB. Silalahi yang juga adalah seorang jenderal, saat itu saya sebenarnya tidak
tahu persis apa kepanjangan TB itu, tapi Kembali memori saya diisi dengan
karakter jenderal BATAK yang Namanya dimulai dengan “TB”.
Karena saya memang suka membaca,
sejak SMP saya sudah menjadi anggota perpustakaan daerah Sumut, yang lokasinya
cukup jauh dari rumah saya, saya sering bersepeda ke sana. Saya mulai memiliki
cukup akses ke buku-buku, termasuk buku-buku Sejarah. Kelas 3 SMP saya mulai aktif sebagai pemuda
gereja, juga ketika SMA di Medan, saya aktif dalam mengorganisir ibadah di
sekolah, saya mulai banyak berinteraksi dengan pendeta dan struktur gereja.
Saya mulai berkenalan dengan Sejarah gereja saya (HKI), juga berkenalan dengan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dari interaksi, dan bacaan di perpustakaan,
saya akhirnya bertemu dengan “TB” yang lain lagi, yang juga adalah
Jenderal BATAK dan Kristen pula, dialah “Jenderal Tahi Bonar Simatupang” yang namanya sering disingkat TB Simatupang, awalnya saya kira 2 TB yang saya kenal
adalah bersaudara, “bersaudara tapi marganya kok beda?”, saya sempat menduga
bahwa TB ini seperti gelar atau semacamnya heheheh. Tapi hal ini semakin
membuat penasaran saya dan semakin menambah energi saya dalam menelusuri
siapakah TB Simatupang ini. Karena dia adalah SIMATUPANG, sama seperti saya,
berarti dia adalah saudara dekat saya!!
Dari berbagai literasi, saya
mendapati bahwa TB Simatupang , mengalami pensiun dini dari militer, kemudian
di usia muda beliau aktif dalam kegiatan bergereja, beliau menginisiasi
pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang dikemudian hari
bertransformasi menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) seperti
yang kita kenal saat ini. Oleh karena aktifitas, fungsi & peran juga pengaruhnya di DGI-PGI, beliau pernah sangat lama menjabat sebagai “Ketua
Kehormatan DGI/PGI”. Beliau juga aktif mewakili Indonesia dalam organisasi
gereja dunia. Sebelumnya saya pernah mempelajari tokoh Gunung Mulia yang pernah
menjadi salah satu anggota delegasi perwakilan Hindia Belanda untuk menghadiri
Konferensi pembentukan Dewan Gereja Dunia di Edinburgh-Scotlandia di era tahun
1930-an. Tapi kiprah TB Simatupang lebih luar biasa lagi, selain aktif di Tingkat
Nasional, beliau juga aktif dan berpengaruh di Tingkat internasional.
Seorang yang bukan theolog
professional (bukan pendeta), dapat diterima, berkiprah dan sangat
berpengaruh dalam komunitas gereja yang didominasi oleh para theolog dan
pendeta, hal ini sangat mencengangkan saya dan membuat saya sangat terpesona.
Saat itu saya yang masih pemuda gereja yang penuh dengan kegelisahan,
seketika memperoleh suntikan energi, bahwa saya yang bukan theolog (saya tidak
pernah bercita-cita menjadi theolog atau pendeta) dapat juga berperan aktif
menyalurkan dan mewujudkan ide-ide besar buat gereja. TB Simatupang saja bisa kenapa saya engga? Kira-kira demikian lah semangat saya.
TB Simatupang TOKOH INTELEKTUAL
Saya lupa di mana tapi ketika
masih sekolah saya pernah baca tentang kekaguman TB. Simatupang terhadap 3
orang Karl/Carl, yaitu:
2. Karl Marx
3. Carl Von Clausewits
Untuk memuaskan rasa penasaran saya, lalu saya telusuri tentang tokoh-tokoh tersebut, tokoh pertama adalah seorang theolog Jerman yang hidup di sekitar masa Perang Dunia II, saya pernah membaca karya Karl Barth tentang “Theologi Kemerdekaan”, sebagai seorang yang tidak punya latar belakang akademis theology, agak sulit saya untuk memahami tulisan-tulisan Karl Barth, yang saya tahu bahwa Karl Barth cukup produktif dalam menulis dan merupakan theolog/pemikir yang cukup berpengaruh.
Lalu kemudian saya juga menelusuri Karl Marx dengan karya-karyanya, karena kebetulan saya juga berkuliah di fakultas ekonomi, walaupun tidak merupakan bagian dari bahan ajar wajib di perkuliahan, saya juga aktif membaca hal-hal mengenai pemikiran/kiprah Karl Marx.
Tentang Carl von Clausewits, sesungguhnya masih asing dan tidak begitu menarik, tapi oleh karena TB Simatupang saya pun menjadi penasaran, dari penelusuran saya, saya kemudian mengetahui bahwa Clausewits adalah seorang ahli strategi militer, sebelumnya saya sudah akrab juga dengan tokoh strategi militer yang lain, seorang Asia, yaitu Sun Tzu, tapi oleh karena TB Simatupang saya jadi mengetahui ada ahli strategi yang lain, seorang Eropa, yaitu : Carl Von Clausewits.
Ketika selesai kuliah dan awal-awal kerja di Jakarta, saya tinggal/kost di daerah jalan prapatan, di sekitaran ex- STOVIA, karena saya masih baru merantau, hari Sabtu dan hari libur biasanya saya menghabiskan waktu di sekitaran jalan Kwitang – Jakarta Pusat, yang pada waktu itu masih banyak dipenuhi oleh pedagang buku bekas. Saya pernah melihat buku “Saya Orang yang Berhutang” dan “Laporan dari Banaran”, keduanya karya TB. Simatupang. Saya pernah membeli kedua buku itu, namun kemudian raib entah kemana. Buku “LAPORAN DARI BANARAN” yang saya miliki saat ini adalah buku ke-4 (dengan judul yang sama) yang saya beli di tahun 2023, karena buku-buku terdahulu sudah tidak tahu kemana rimbanya. Dari buku “Saya orang yang berhutang”, saya jadi tahu bagaimana pandangan orang lain terhadap karya dan pemikirannya, dari buku “Laporan Dari Banaran”, karena ditulis langsung, saya menjadi mengetahui bagaimana cara dan sudut pandang pemikiran beliau.
Melalui akftifitasnya di Gereja, TB. Simatupang juga aktif meletakkan dasar-dasar tentang persatuan/oikumenisme gereja, pengembangan landasan-landasan etik theology bagi tanggungjawab Kristen. Oleh Th. Sumartana , seorang intelektual Kristen, TB. Simatupang disebut sebagai “Teoritikus Oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah Kemerdekaan”.
TB Simatupang mengagumi 3 Karl, berarti TB Simatupang sangat mengenal dan memahami karya-karya pemikiran Karl Barth, Karl Marx , dan Carl von Clausewits, ini orang pastilah orang yang cerdas dan haus ilmu, juga dari kedua buku yang saya sebut terdahulu, sederhana saja kesimpulan saya, bahwa TB Simatupang itu seorang intelektual. Tidak hanya mampu memahami pemikiran orang lain, tapi juga mampu dan produktif dalam menyampaikan gagasan-gagasan besar kepada orang lain.
TB Simatupang SEORANG TOKOH YANG PEMBERANI
Awalnya saya hanya tahu bahwa di
masa revolusi fisik TB Simatupang turut serta bergerilya mendampingi Panglima
Besar TNI , Jenderal Sudirman, “orang
ini pastilah punya fisik yang prima!” demikian yang saya pikirkan. Tapi kemudian dikemudian hari, saya
mengetahui Peristiwa 17 Oktober 1952 dimana pada peristiwa itu diceritakan
bahwa terjadi perdebatan yang sangat keras antara Kepala Staf Angkatan Perang
Jenderal TB. Simatupang dengan Presiden RI Ir. Sukarno. Suatu hal yang sangat sulit dibayangkan,
bahkan untuk konteks saat ini sekalipun. Terjadi perbedaan pendapat antara TB
dan Bung Besar, dan TB Simatupang dengan jelas dan tegas
menyatakan/memperlihatkan prinsip dan ketidaksetujuannya dengan Presiden.
Peristiwa ini tak pelak lagi,
menjadi salah satu sebab titik puncak perselisihan dengan Bung Karno dan titik
awal berakhirnya karir cemerlang TB Simatupang di TNI. Tidak hanya ketika
berhadapan dengan NICA, TB Simatupang juga mampu menunjukkan keberaniannya di depan sang
Pemimpin Besar Republik Ini. Hal-hal yang menjadi selisih pendapat, mungkin
masih bisa diperdebatkan, tapi keberaniannya jelas tidak terbantah.
TB Simatupang SEORANG TOKOH MILITER AHLI STRATEGI
Di masa mudanya, sebelum masuk
KNIL, Pak Sim (panggilan akrab kepada TB Simatupang) telah lebih dahulu
menyelesaikan pendidikan di AMS (setara SMA/SLTA di masa kini), suatu level
pendidikan yang di atas “rata-rata” masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Awal
masuk menjadi kadet di KMA (Akademi Militer Kerajaan Belanda), Pak Sim masuk
di kecabangan militer zeni. Dalam militer, Zeni berfungsi sebagai engineer
yang menyiapkan aneka infrastruktur yang diperlukan oleh pasukan, seperti
membangun jembatan, ranjau, aneka pekerjaan konstruksi, dst. Tidak hanya mahir mempergunakan senjata, zeni
juga dilengkapi keterampilan mempergunakan aneka peralatan/perlengkapan
teknikal beserta dengan kemampuan melakukan perhitungan/kalkulasi teknis dan
ekonomis. Tidak hanya keberanian dan fisik yang prima (OTOT), dibutuhkan juga
intelejensia (OTAK).
Ketika membaca buku ‘LAPORAN
DARI BANARAN”, Pak Sim menceritakan pengalamannya dalam mengorganisasikan
perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh TNI terhadap NICA yang coba kembali
menduduki Indonesia. Pak Sim bertanggungjawab melakukan koordinasi antara
Markas Besar Tentara (TNI) yang dipimpin
oleh Jenderal Sudirman dengan para komandan wilayah pertahanan TNI di seluruh
Indonesia. Dengan kondisi keterbatasan
sarana/prasarana komunikasi dan transportasi, saya dapat membayangkan Tingkat
kesulitan yang dihadapi oleh pak Sim. Bagaimana agar supaya perintah dari
markas bisa sampai ke para komandan hingga prajurit yang di medan pertempuran,
juga bagaimana agar laporan kondisi di lapangan/medan pertempuran.
Pak Sim juga ikut serta memantau
dan terlibat akfif di medan pertempuran diplomasi, oleh karena kemampuannya
berbahasa Belanda dan Bahasa Inggris, Pak Sim beberapa kali juga menjadi salah
satu anggota delegasi yang terlibat dalam berbagai aneka perundingan, antara
pemerintah RI dengan NICA. Berbagai hasil perundingan dan perjanjian damai
tentulah harus segera disampaikan ke markas besar tentara untuk dapat disikapi
dan ditindaklanjuti.
Dengan aneka aktifitas
pengorganisasian tentara dan diplomasi, Pak Sim juga turut serta mendampingi
Sudirman dalam gerilya, harus berpindah-pindah dan sering terancam nyawa,
berinteraksi dengan rakyat, dengan segala keterbatasan logistik dan amunisi,
dibutuhkan orang dengan kemampuan luar biasa untuk dapat melakukan itu semua.
Tugas tanggung jawab dalam situasi yang penuh gejolak, tekanan dan
keterbatasan, Pak Sim dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, selain faktor
keberanian dan OTOT, ada faktor OTAK yang memampukan Pak Sim, kemampuan Analisa
terhadap situasi, perancangan strategi dan kemampuan komunikasi, membuktikan
Pak Sim adalah seorang ahli, ternyata beliau tidak hanya mampu membaca ON WAR
nya Carl Von Clausewits saja tapi
ternyata beliau sangat memahaminya dan mampu melakukan implementasi dan
adaptasi. Tidak hanya sekedar melakukan perlawanan bersenjata, Pak Sim juga
berperan besar dalam merancang dan menetapkan fondasi dasar/awal Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
TB Simatupang SEORANG BATAK TULEN YANG JUGA NASIONALIS SEJATI
Bahkan sejak bersekolah di AMS
di Batavia, Pak Sim telah memiliki lingkup pergaulan yang tidak hanya sesama
orang Tapanuli atau keturunan Batak saja. Lingkup pergaulan yang lebih luas
membuatnya memiliki wawasan yang lebih luas, berpikiran terbuka dan progresif daripada orang lain.
Selama revolusi fisik dan perang gerilya, wilayah aktifitas pak Sim
adalah Yogyakarta dan Jawa Tengah sekitarnya. Interaksi dengan Sudirman, para
prajurit, dengan rakyat di daerah gerilya, dengan para diplomat dan pemimpin
negeri, membuat pak Sim menjadi lebih “nasional”. Pak Sim menikahi adik kandung Perempuan dari
Ali Budiarjo teman seperjuangannya, seorang Jawa, memperlihatkan Pak Sim
sebagai seorang yang open minded, tidak hanya dalam urusan tugas dan
pekerjaan, tapi juga untuk urusan pribadi/keluarga dan budaya.
Selepas dari kemiliteran, Pak
Sim aktif di Lembaga gereja baik pada level nasional dan bahkan internasional.
Beliau menginisiasi adanya suatu “persatuan” diantara gereja-gereja di
Indonesia yang sangat beragam, baik dari latar belakang denominasi, latar
belakang Sejarah, karakter jemaat dst. Tidak hanya menginisiasi tapi juga aktif
mengkomunikasikan gagasan, hingga terlibat aktif mewujudkan persatuan itu, yang
bermuara kepada pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) hingga
menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Peran dan kontribusinya
di DGI-PGI, Dewan Gereja Asia hingga Dewan Gereja Dunia membuktikan betapa
nasionalisnya pak Sim.
Memilikii istri yang bukan orang
BATAK (suku Jawa) dan lingkungan pergaulan aktif yang bukan didominasi budaya
BATAK, ternyata juga tidak menghilangkan ke-BATAK-an nya. Saya agak kesulitan memang mendapatkan sumber
literasi yang menunjukkan jejak-jejak pak sim dalam hal kontribusinya terhadap
adat atau ke-BATAK-an tapi dari semua karya tulisnya, karya tulisan orang
lain tentang dirinya, dan juga pengakuan dari orang-orang yang pernah
mengenalnya, beliau selalu dikenal sebagai “Pak Simatupang”, artinya beliau
selalu memperkenalkan dirinya sebagai seorang “Simatupang”, bukan sebagai
seorang “Tahi Bonar” atau seorang “Bonar”. Untuk khalayak yang masih belum
familiar dengan kultur BATAK, mengingat dan menyebut “Simatupang” tentulah
bukan hal yang mudah. Tapi ternyata Pak Sim tetap teguh dan konsisten (dan pastinya
bangga ) dengan identitas ke-BATAK-annya melalui Namanya SIMATUPANG. Setelah
saya telusuri lebih lanjut, beliau punya 4 orang anak ; Tigor , Toga, Siadji,
dan Ida Apulia. Nama-nama mereka sangat khas BATAK sekali, tentunya ini adalah
peran/pengaruh sang Ayah daripada sang Ibu.
Penutup
Sesungguhnya saya pernah sesaat
kecewa terhadap Simatupang, pertama adalah bahwa ternyata dia tidak lahir di
daerah Paranginan sekitarnya, tidak seperti saya heheheh. Selain itu dari penelusuran
silsilah/tarombo yang saya lakukan, TB Simatupang, simatupangnya bukan dari
cabang Siburian, tapi malahan dari cabang Sianturi, saya kecewa lagi…
Sungguhpun demikian, kekaguman
saya terhadap beliau sebagai seorang tokoh gereja, tokoh intelektual, karakter
pemberani, tokoh militer, dan BATAK yang Nasionalis memupus segala kekecewaan
itu. Saking kagumnya, putri saya yang ke-4 saya beri nama : Theodora Grace
Apulia Siburian, Dimana “apulia” itu memang terinspirasi dari nama yang
diberikan oleh pak Simatupang kepada putrinya.
Saat ini keluarga saya tinggal di daerah Yogyakarta dimana anak-anak
saya punya keterbatasan untuk mengalami peristiwa-peristiwa terkait kultur
BATAK tapi saya selalu menanamkan nilai-nilai dan identitas BATAK kepada
mereka, salah satu caranya adalah; dari internet saya mengunduh beberapa video
percakapan dengan TB. Simatupang, juga bahan-bahan literasi saya bagikan ke
anak-anak saya, sambil berpesan : “Ini TB. Simatupang bukan orang sembarangan
di negara ini! Dan kalian juga adalah Simatupang!”
Untuk menutup tulisan ini, saya
ingin menuliskan salah satu kutipan ucapan pendek beliau yang saya ambil dari buku “ 70 Tahun Dr. TB Simatupang, Saya
Adalah Orang yang Berhutang”
“Kita semuanya tentu berhutang kepada Tuhan. Hutang itu tidak dapat kita bayar. Hutang itu hanya dapat diselesaikan oleh Tuhan sendiri berdasarkan KasihNya. Hutang yang harus kita bayar adalah kepada sesama kita”
Halomoan
Siburian, Jakarta, 20 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar