Pulang Kampung (Mudik)
Memasuki akhir tahun, saya bertanya ke pada seorang teman apakah dia dan keluarganya akan pulang kampung tahun ini untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Respon yang diberikannya berupa pertanyaan dengan berkata, "Bang kenapa sih kalau ke kampung kita selalu ngasih-ngasih duit..?"
Saya tanggapi dengan, "ah pengalamanku enggak tuh.."
Kemudian dia balas melanjutkan, "kalau kita tidak ngasih sikapnya gimana gitu... Kita berkunjung ke rumah A, pulangnya kita "nyalam", lanjut ke rumah B, "nyalam" begitu seterusnya...jadi malas pulang ke kampung..."
Sebagai informasi teman ini kelahiran Jakarta dan bersuamikan laki-laki BATAK yang lahir dan besar di kampung sehingga keluarga besar masih berada di Bona Pasogit. Sang suami selalu mengajak keluarganya bernatal dan tahun baru di kampung yang sepeti kita tahu banyak individu BATAK melakukannya.
Di kesempatan lain, saya juga berbincang dengan teman tentang rencana mereka untuk pulang kampung.
"Telah terkumpul dana enam puluh juta", ucapnya.
Saya merespon dengan pertanyaan, "untuk apa?"
Dari penjelasannya ternyata perantau dari kampung mereka mengumpulkan dana untuk melaksanakan kegiatan Natal bersama Pangaranto dan Parhuta (Perantau dan Penduduk Kampung). Biasanya dana berasal dari parau perantau. Tentu dana ini digunakan untuk pernak-pernik natal dan makan bersama.
Kedengarannya tidak ada masalah dengan hal ini namun selanjutnya teman saya memaparkan bahwa kegiatan ini telah berlangsung setiap tahun dan di dalam setiap kegiatan akan diadakan acara manortor di mana seluruh penduduk kampung terutama para orang tua manortor dan perantau selanjutnya akan nyawer.
Dia melanjutkan, "bayangkan biasanya tidak kurang dari seratus orang yang harus disawer".
Walaupun besarannya tidak ditentukan namun pengeluaran ini di luar dana yang harus dikeluarkan untuk keluarga yang tadi saya jelaskan di atas dan tentuk di luar ongkos (transportasi) yang harus dikeluarkan menuju kampung!.
Terdapat anggapan bahwa pangaranto memiliki banyak uang. Mereka telah berhasil merantau dan wajar jika mereka memberikan uang sebagai tanda suka-cita. Faktanya kita tahu bagaimana kesulitan hidup di perantauan, pulau Jawa khususnya. Biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan hidup di Jakarta, misalnya, bisa jauh lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk hidup di huta (kampung). Tapi toh fakta ini sepertinya tidak dipedulikan. Seolah-olah semua perantau berhasil dan sukses.Sang teman menutup kalimatnya dengan, "memang kalau tidak punya duit, jadi "takut" pulang kampung...".
Tentu kita tahu maksudnya, kenapa menjadi takut.
Apakah masyarakta BATAK materialistis? memandang keberhasilan hanya dengan ukuran uang?. Mungkin masyarakat kampung tidak memiliki maksud membuat pangaranto menjadi "takut" mulak tu huta (pulang kampung) namun faktanya itu yang terjadi pada sebagian orang. Peristiwa percakapan saya dengan dua orang teman di atas setahu saya tidak spesifik hanya untuk mereka.
Pulang kampung (mudik) seperti yang kita ketahui sebenarnya tidak spesifi untuk BATAK saja. Peristiwa ini juga terjadi di sebagian besar suku bangsa. Di masyarakat Cina, misalnya, mudik melibatkan tidak kurang dari tiga ratus juga penduduk. Apakah "ketakutan" juga timbul di kalangan perantau Cina, saya kurang tahu walaupun kita tahu kebiasaan membagi angpao berasal dari sana.Saya setuju budaya pulang kampung perlu dipertahankan karena selain dapat tetap menjaga ikatan bathin dengan penduduk kampung juga meningkatkan perputaran uang (ekonomi) dari kota ke desa. Cara mengisi kegiatannya mungkin perlu diperbaiki. Dana yang dikumpulkan untuk perayaan natal dan nyawer dialihkan saja untuk pembangunan fasilitas/keperluan umum. Kita masih mendengar penduduk kampung yang kesulitan biaya sekolah, kesehatan dan lain-lain. Kebiasaan "menyalam" tidak perlu dilakukan lagi. Memberikan informasi tentang bagaimana meningkatkan taraf hidup lebih berguna untuk masa depan ketimbang memberikan uang dan membuat teman saya malas dan takut pulang kampung. (atob)
Komentar
Posting Komentar