Tantangan Generasi Tua BATAK Mewariskan Budaya
Kelahiran, Perkawinan dan Kematian adalah tiga hal utama yang selalu diwarnai dengan kebiasaan ataupun seremonial budaya. Kegiatan ini berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Suku Bangsa BATAK secara umum tentu menginginkan budaya dan adat istiadat BATAK tetap lestari dan dipraktikkan oleh generasi penerus, khususnya pada ketiga kegiatan tersebut.
Namun, apakah generasi berikutnya mau menerima tugas pelestarian budaya tersebut, saat ini sepertinya mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kebutuhan ekonomi dan pendidikan tampaknya jauh lebih besar daripada kebutuhan pelestarian budaya.
Perubahan di segala bidang baik di Indonesia maupun di dunia global terjadi sangat cepat. Teknologi digital telah melingkupi segala bidang kehidupan. Generasi muda dituntut untuk segera menguasai teknologi komputer, internet dan media sosial kalau tidak mau ketinggalan. Penguasaan ini, tidak lagi hanya melalui jalur formal bangku sekolah atau lembaga ketrampilan namun Individual saat ini dapat belajar dari berbagai sumber tanpa batas wilayah dan waktu.
Pengetahuan, keterampilan yang tidak dibutuhkan untuk kehidupan modern dan serba digital dan serba cepat akan ditinggalkan dan menjadi usang. Generasi yang tidak memiliki pengetahuan adat istiadat BATAK tetap dapat hidup survive dan sukses menurut ukuran saat ini. Kebutuhan akan kecepatan, pergaulan internasional lebih dibutuhkan daripada pengetahuan tentang partuturon, bahasa dan aksara BATAK maupun pengetahua tentang ruhut paradaton. Miris memang tapi itulah kenyataan yang sedang kita hadapi. Membedakan Tulang dan Amangboru saja kesulitan bagaimana pula memahami Suhi ni Ampang na Opat?
Membuat mereka tertarik dan menjadi pelaku budaya BATAK di masa depan sangatlah sulit kalaupun tidak dapat dikatakan mustahil. Lantas, bagaimana cara yang tepat untuk menimbulkan ketertarikan generasi Milenial dan Z?. Tidak ada jawaban yang pasti namun kita harus terlebih dahulu mereview apakah yang telah dan kita lakukan saat ini, sudahkah menjawab kebutuhan mereka? Bukan mereka yang harus memulai tapi kita!.
Generasi Tua saat ini harus membuat "urusan" budaya ini menjadi sederhana dan menarik untuk dilakukan. Penyajian harus sesuai dengan selera generasi muda. Penyampaian pun tanpa kesan "harus" dan memaksa. Harus terdapat revisi terutama pada pelaksanaan adat perkawinan dan kematian/penguburan.
Pemberian ulos yang selama ini berpuluh-puluh lembar, mungkin sudah saatnya direview menjadi hanya dari orang tua dan Tulang saja (cukup 1 yang mewakili). Terus terang saja, ulos yang banyak itu hanya akan tersimpan di dalam lemari. Bukankah lebih bermanfaat jika sekiranya pemberian ulos lainnya diganti dengan materi/benda yang dibutuhkan pengantin untuk memulai hidup baru berumah tangga?
![]() |
Ulos & Tandok sebagai perlengkapan adat BATAK |
Pemberian Ulos dari satu pihak dibalas dengan pemberian amplop/uang dari pihak lainnya juga menjadi hal yang perlu dipikirkan ulang. Bagi generasi muda, ini adalah tindakan yang "aneh" dan materialistik. Hal ini tidak saja terjadi pada pesta kawin namun juga prosesi penguburan. Sudah banyak suara-suara yang menyatakan, "sudahlah saya sakit kehilangan orang tua, koq malah diberatkan dengan pengadaan makanan dan pembayaran uang adat..?". Bagi mereka ini pemborosan, tidak berempati dan bertele-tele.
Selanjutnya, Generasi tua menyampaikan secara persuasif tentang harapan dan mengapa pentingnya identitas budaya BATAK kepada generas Milenial dan Z. Tunjukkan betapa unik tenunan Ulos dan ukiran gorga BATAK tentu disertai dengan penjelasan makna yang terkandung di dalamnya. Mengapa Cicak (Boras Pati) bukan Singa atau Elang yang menjadi simbol BATAK.
Industri kreatif sangat berkembang saat ini. Sudah banyak generasi BATAK terjun dalam dunia Sinetron ataupun perfilm-an. Jangan-jangan generasi muda Milenial dan Z tertarik untuk mengangkat cerita tentang Guru Tatea Bulan dan si Baso Paet ke dalam karya seni dokumenter atau perfilm-an. Cerita lain tidak kalah menarik; Horbo Jolo dan Horbo Pudi di marga Simanjuntak, Bursok Mangalandong atau mengapa persoalan Datu Pangganagana di marga Lumbantobing sampai ke pengadilan.
Namun jika dimulai dengan pengenalan betapa banyaknya ulos yang harus disiapkan, berapa banyak amplop yang harus disiapkan atau berapa banyak waktu yang harus "dibuang" untuk Marhorihori dinding, martonggo raja dan pesta unjuk tentu yang timbul adalah kebosanan.
Jika terlambat, kelak di masa depan, akan terdapat pro hire prosesi adat perkawinan BATAK. Raja par hata marga tertentu digantikan oleh professional dari marga lain yang tidak punya hubungan. Raja par hata yang "dibayar" karena adat BATAK harus dijalankan atau dipaksakan (bagi saya lebih baik melakukan prosesi adat secara responsoria daripada pro hire!). Lambat laun generasi yang lebih muda lagi akan meninggalkan budaya BATAK karena tidak relevan bagi hidup dan kehidupan mereka. Inikah yang kita mau? (atob)
Komentar
Posting Komentar